TANAH DATAR - Maraknya pemberitaan abal-abal oleh oknum "wartawan" yang medianya tidak dapat dipercaya membuat Dewan Pers bersama Kominfo Tanah Datar mengelar seminar literasi terkait "Wartawan Abal-Abal".
Dalam seminar tersebut, Wakil Dewan Pers Indonesia M. Agung Dharmajaya menyebutkan sejumlah ciri-ciri wartawan abal-abal atau disebut juga wartawan bodrex.
"Wartawan abal-abal sering juga disebut wartawan bodrex atau juga wartawan CNN atau candu nulis-nulis, " kata Agung saat Seminar Literasi dengan tema “Membedakan Media Profesional Dengan Media Abal-Abal di Kabupaten Tanah Datar”, Senin (12/9/2022).
Ciri-ciri wartawan abal-abal tersebut adalah sebagai berikut:
Wartawan abal-abal datangnya bergerombol, memiliki markas tertentu sebagai markas besar, markas wartawan abal-abal/boderek biasanya di lobi hotel, karena mereka dapat memperoleh atau membaca banyak koran/media cetak, televisi, dan akses internet secara gratis. Bahkan, mereka sering menjadikan pihak pengelola hotel sebagai pihak yang juga mereka mintai dana atau fasilitas tertentu.
Tidak berbadan hukum perusahaan pers; Alamat redaksi tidak jelas; Tidak mencantumkan nama penanggungjawab dalam boks redaksi; Terbit temporer; Isi berita cenderung melanggar Kode Etik Jurnalistik; Bahasa yang digunakan tidak memenuhi standar baku; Nama media terkesan menakutkan.
Kemudian, berpenampilan sok jago dan tidak tahu etika; Mengaku anggota organisasi wartawan tapi tidak jelas; Mengenakan atribut aneh dan pertanyaan yang diajukan hanya tendensius; Tidak juga bertatakrama jurnalis; Meremehkan bahkan kadang mengancam dan memeras narasumber; Tidak memiliki sertifikat kompetensi.
Adapun beberapa sebutan lainnya menyangkut wartawan berbayar sesuai dengan praktiknya dalam proses liputan sebagai berikut.
Wartawan penyerta, (embedded journalist) lembaga pemerintah/swasta, yang dibiayai tiket, uang saku dan akomodasinya oleh pihak pengundang.
Wartawan pastisan, yang berkerja dimedia massa sebagai binaan (underbouw) partai politikatau organisasi massa sehingga arah pemberitaannya pro parprol yang bersangkutan lantaran secara berkala menerima “biaya operasional”.
Baca juga:
Birokrasi di Era 4.0 Tantang ASN Berkualitas
|
Wartawan bidang/pos instansi pemerintah/swasta, yang bertugas di instansi pemerintah/swasta dan mendapatkan "jatah hidup (Jadup)" dari instansi bersangkutan.
Wartawan rangkap kerja, yang menjalankan fungsi ganda sebagai wartawan media massa tertentu sekaligus menjadi anggota redaksi media internal instansi pemerintah/swasta.
Wartawan pemilik saham perusahaan pers berskala kelompok bisnis media, yang tidak akan pernah berani membuat berita berimbang terhadap kasus di kelompok medianya karena mendapatkan jatah pembagian saham dan keuntungan per tahun,
Wartawan jumpa pers, yang mengikuti jumpa pers dan menerima uang dari pihak penyelenggara kegiatan, (catatan: dalam hal ini ada tiga sub-kelompok, yaitu : menerima untuk digunakan sendiri, menolak, dan menerima untuk disumbangkan ke pihak lain.
Wartawan kado, yang mengikuti jumpa pers atau wisata jurnalis (press tour) perusahaan pemerintah (BUMN/BUMD) maupun swasta yang tidak memberikan amplop berisi uang, tetapi menyampaikan cendera mata produk bernilai tinggi, misalnya telepon seluler (ponsel) dan alat dengar musik digital (mp3 player), bahkan voucher isi ulang pulsa maupun yang berupa voucher elektronik.
Wartawan pemburu jumpa pers, yang menulis berita hanya untuk jumpa pers yang penyelenggaranya menyediakan uang.
Wartawan individual atau berkelompok, yang menjadi pemburu uang (di dalam maupun di luar amplop), yang secara individu mencari narasumber pemilik uang. Dan wartawan penodong individual atau berkelompok, yang mengatas namakan profesi wartawan.
Agung menjelaskan, wartawan abal-abal sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai wartawan, sebab, kata dia, hal itu dapat merusak citra atau profesi wartawan.
Selain itu, dalam materinya, Agung juga menyebut Aparatur Sipil Negara (ASN) atau intansi lainnya memiliki hak tolak dalam memberikan informasi saat diwawancarai oleh oknum wartawan yang medianya tidak dapat dipercaya atau kredibel.
“Kita punya hak untuk tidak melayani atau menolak kalau keberadaan medianya tidak kredibel, boleh disaat ada orang yang ingin mewawancara tanya dulu medianya apa, dari mana, siapa penanggung jawabnya siapa, jika yang bersangkutan tersiggung kan menjadi aneh, ” katanya.(JH)